Jumbo dan Dampak "Bullying" pada Anak

(Source: Instagram/@jumbofilm_id)

Sebagai generasi yang tumbuh besar di lingkungan yang keras dan penuh tekanan sosial, kita tahu persis bagaimana rasanya menjadi korban perundungan (bullying). Kita tahu rasanya menjadi orang yang selalu dianggap tidak berguna, tidak bisa apa-apa, dan sering dipandang sebelah mata. Lukanya membekas di hati, bahkan setelah bertahun-tahun sudah terjadi.

Ketika menonton Jumbo karya Visinema Studios yang rilis pada lebaran 2025, kita tidak hanya melihat kisah anak-anak biasa. Kita melihat diri kita di masa kecil. Kita melihat anak-anak lain yang sedang menjalani luka yang sama. Kita melihat kenyataan pahit yang selama ini jarang dibicarakan dengan serius. Apa itu? Yaps, dampak bullying pada anak.

Awalnya, kita tidak memiliki ekspektasi tinggi terhadap film animasi Indonesia. Kita terbiasa melihat karya film animasi luar negeri, dan kita pasti pernah sempat berpikir bahwa film animasi Indonesia belum mampu menyamakan segi kualitas dan kedalaman cerita dari film-film lain seperti Pixar dan DreamWorks. Namun, Jumbo–karya anak bangsa–membungkam semuanya.

Jumbo hadir bukan hanya dari aspek visual yang memukau, tetapi juga melalui naskah yang sarat dengan realita kehidupan. Dan yang paling penting, sutradara berani untuk mengangkat tema yang selama ini jarang dihadiri di film anak-anak, yaitu bullying.

Don yang merupakan tokoh utama pada film ini, menggambarkan sosok yang sangat dekat dengan realita kebanyakan anak di Indonesia. Ia merasa tidak berguna, memiliki tubuh gendut, dan tidak ada yang bisa dibanggakan darinya. Bukan karena tidak memiliki potensi, tetapi karena faktor lingkungannya yang membuat ia merasa dirinya tidak berguna untuk sekitarnya.

Jika dalam realita kehidupan, ia adalah anak yang sering kita lihat di pojok kelas–yang tidak pernah diajak bermain. Ia menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya karena penampilannya, suaranya, atau bahkan mungkin latar belakang keluarganya. Itulah cara kasus bullying bekerja. Secara perlahan, kasus perundungan merampas rasa percaya diri seseorang, kemudian menghancurkan kepercayaannya terhadap diri sendiri. 

Tentunya, kita pasti masih ingat betul masa-masa Sekolah Dasar (SD) ketika kita harus menahan tangis setiap kali dipanggil dengan nama-nama yang sangat menyakitkan oleh teman-teman. Beberapa orang dewasa menganggap itu hal yang wajar, sekadar senda gurau. Namun, bagi anak-anak-itu seperti suara yang berbisik keras di telinga dan menghantui isi kepala setiap hari–membuat kita meragukan siapa diri kita sebenarnya. 

Rasa cemas tumbuh menjadi malu. Rasa malu tumbuh menjadi ketakutan sosial. Ketakutan sosial tumbuh menjadi kebencian pada diri sendiri. Tentunya, butuh waktu berbulan-bulan–mungkin bertahun-tahun untuk bisa berdamai dengan perasaan itu. Ketika kita melihat Don di layar lebar, akhirnya-suara hati kita seperti ada yang mewakili.

Film Jumbo menyampaikan pesan bahwa dampak bullying kepada anak-anak tak bisa dianggap sepele. Anak-anak yang di-bully tidak hanya merasakan sedih sesaat. Mereka bisa mengalami trauma, menjauhkan diri dari lingkungan, dan bisa kehilangan motivasi untuk belajar dan berkembang. Kita tahu karena kita mengalaminya. Kita tahu karena banyak anak di luar sana yang sedang mengalaminya, tanpa seorang pun menyadarinya.

Salah satu cara untuk melawan bullying adalah dengan menciptakan ruang aman bagi anak-anak. Ruang yang di mana mereka bisa mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi, ruang yang di mana mereka bisa gagal tanpa takut dicemoohkan–dan film ini adalah ruangnya. Ketika anak-anak menonton Jumbo, mereka tidak hanya menikmati cerita. Mereka belajar tentang pentingnya persahabatan, dan mereka belajar bahwa mereka tidak selalu sendiri.

Namun, tanggung jawab tidak berhenti pada film. Sebagai orang dewasa, kita memiliki peran yang besar dalam membentuk lingkungan yang bebas dari bullying. Kita harus lebih perhatian dengan mendengarkan anak-anak–bukan hanya ketika mereka berbicara, tetapi juga saat mereka diam. Kita harus lebih peka terhadap perubahan sikap mereka, terutama luka yang tak terlihat. Karena sering kali, anak-anak tidak tahu bagaimana cara untuk meminta tolong. Mereka hanya berharap ada yang menyadarinya.

Anak-anak perlu belajar mengenal perasaannya dan menghargai perasaan orang lain. Kita tidak bisa terus-terusan membiarkan sekolah sebagai tempat yang di mana hanya nilai akademik yang dihargai. Karena, dunia yang sebenarnya lebih menantang daripada sekadar ujian tertulis. Anak-anak perlu dibekali dengan kecerdasan emosional untuk bisa berkembang dan bertahan di dunia yang penuh dengan perang.

Di akhir film, Don akhirnya menemukan jati diri. Ia tidak perlu menjadi orang lain untuk merasa hebat, ia cukup menjadi dirinya sendiri. Bagi kita, itu adalah pelajaran paling berharga yang bisa kita ajarkan kepada setiap anak–yang pernah merasa seperti tidak memiliki tempat di dunia ini.



Post a Comment

Previous Post Next Post