Pengepungan di Bukit Duri: Penantian 17 Tahun Joko Anwar


(Source: @someandseepictures)

JAKARTA, ARTSYSITES — Pengepungan di Bukit Duri menjadi salah satu film Indonesia yang paling dibicarakan sepanjang tahun 2025, lho! Disutradarai oleh Joko Anwar, film ini membawa energi baru dalam dunia perfilman Nasional dengan pendekatan tema yang berani, penyajian yang realistis, dan produksi yang berstandar internasional. Namun, lebih dari sekadar film aksi atau thriller biasa, Pengepungan di Bukit Duri adalah karya reflektif yang penuh lapisan kritik sosial.

Ternyata, yang membuat film ini terasa istimewa adalah lamanya proses kreatif di baliknya. Joko Anwar ternyata telah menulis ide cerita sejak tahun 2007. Ia mengungkapkan bahwa butuh waktu 17 tahun baginya untuk merasa cukup matang—baik secara emosional maupun teknis, untuk menggarap cerita ini menjadi sebuah film utuh, lho!

Dalam wawancara bersama Kompas, Joko mengatakan bahwa dirinya tidak ingin memaksakan cerita ini sebelum ia benar-benar mampu menghidupkannya dengan cara yang paling jujur dan emosional. Penantian panjang ini akhirnya terbayar dengan sebuah karya yang kuat dan meninggalkan kesan mendalam.

Dari segi latar, Joko Anwar memilih tahun 2027, hanya beberapa tahun ke depan dari tahun rilis film ini. Ini bukan keputusan tanpa alasan. Menurut Joko, memilih latar waktu yang terlalu jauh seperti tahun 2045 akan membuat hubungan emosional penonton dengan cerita menjadi longgar.

Dengan memilih masa depan yang sangat dekat, ia berharap cerita terasa lebih relevan, mendesak, dan akrab. Penonton diajak membayangkan bahwa situasi dalam film itu bukan hanya kemungkinan fiksi, melainkan potensi nyata yang bisa terjadi dalam hidup mereka sendiri. 

Mari kita simak sinopsis film Pengepungan Bukit Duri di bawah ini.

Sinopsis Pengepungan Bukit Duri

“Sebelum kakaknya meninggal, Edwin (Morgan Oey) berjanji untuk menemukan anak kakaknya yang hilang. Pencarian Edwin membawanya menjadi guru di SMA Duri, sekolah untuk anak-anak bermasalah. Di sana, Edwin harus berhadapan dengan murid-murid paling beringas sambil mencari keponakannya. Ketika akhirnya ia menemukan anak kakaknya, kerusuhan pecah di seluruh kota dan mereka terjebak di sekolah, melawan anak-anak yang brutal yang kini mengincar nyawa mereka.”

Di balik ketegangan dan adrenalin, Joko Anwar menyisipkan kritik tajam terhadap sistem sosial, terutama dalam bidang pendidikan. Ia menunjukkan bagaimana sekolah yang seharusnya menjadi tempat membangun karakter dan masa depan justru bisa berubah menjadi tempat kekerasan ketika pengawasan, empati, dan nilai-nilai kemanusiaan hilang. Di film ini, kekerasan bukan hanya fisik, melainkan juga simbol kehancuran moral dan struktur sosial. 

Meskipun Pengepungan di Bukit Duri mengambil latar tahun 2027 dan tidak secara eksplisit merujuk pada peristiwa bersejarah tertentu, banyak tema yang diangkat dalam film ini terasa akrab dengan suasana sosial Indonesia saat kerusuhan Mei 1998. Ketika itu, negara mengalami guncangan besar seperti ketidakstabilan ekonomi, keruntuhan institusi, kekerasan massal, serta rakyat kecil yang menjadi korban utama dari kekacauan politik dan sosial. 

Di dalam film, gambaran tentang sekolah yang hancur, absennya aparat hukum, dan komunitas yang dipaksa bertahan hidup tanpa perlindungan negara menjadi resonansi kuat terhadap pengalaman traumatis masa lalu tersebut. Bukit Duri digambarkan bukan hanya sebagai lokasi fisik, melainkan sebagai metafora dari sebuah bangsa yang kehilangan arah, dimana rasa aman, keadilan, dan kepercayaan terhadap sistem runtuh seketika.

Melalui pendekatan ini, Joko Anwar seolah mengingatkan penonton bahwa sejarah kelam seperti kerusuhan 1998 bukanlah sekadar catatan masa lalu, melainkan bayang-bayang ancaman yang bisa terulang jika keadilan sosial diabaikan. Film ini menjadi peringatan simbolis tentang betapa rapuhnya tatanan masyarakat, dan bagaimana ketidakadilan yang dibiarkan membusuk dapat menjerumuskan sebuah bangsa ke dalam kekacauan yang serupa.

Bagi penggemar setia Joko Anwar, film ini juga menyimpan banyak easter egg yang menarik. Meskipun Joko menegaskan bahwa Pengepungan di Bukit Duri berdiri sebagai karya terpisah, beberapa detail kecil seperti penggunaan tanggal 17 April mengingatkan pada elemen yang muncul di film-film terdahulunya seperti Pengabdi Setan. Ini membuat banyak penonton merasa bahwa film ini tetap memiliki benang merah tematik tentang kekacauan dunia dan ketidakpastian masa depan. 

Satu hal yang patut disoroti dari Pengepungan di Bukit Duri adalah skalanya yang terasa jauh lebih besar dibandingkan film-film lokal umumnya. Ini tidak lepas dari kolaborasi internasional antara rumah produksi Indonesia, Come and See Pictures, dengan Amazon MGM Studios.

Kerjasama ini bukan hanya memperkuat sisi teknis produksi, tetapi juga memperbesar potensi distribusi film ini ke pasar global. Dengan kerja sama ini, Pengepungan di Bukit Duri menempatkan diri sebagai contoh nyata bahwa film Indonesia mampu bersaing di kancah internasional, tanpa harus mengorbankan identitas lokalnya. 

Pemeran utama, Morgan Oey, mendapat banyak pujian atas aktingnya yang emosional dan penuh energi. Sebagai Edwin, ia harus menyeimbangkan ketakutan, keberanian, keputusasaan, dan harapan dalam situasi yang serba berbahaya. Transformasi karakter Edwin dari seorang guru idealis menjadi sosok yang harus bertarung melawan brutalitas demi keluarganya memberikan kekuatan emosional yang menjadi jantung film ini.

Dari sisi penyutradaraan, Joko Anwar menggunakan pendekatan realis yang membuat semua kekerasan dalam film terasa nyata dan mengganggu. Kamera handheld yang sering digunakan, pencahayaan alami, serta sound design yang intens memperkuat nuansa ketidakpastian dan ketakutan. Lokasi syuting, yang menggambarkan SMA Bukit Duri sebagai labirin suram, penuh grafiti dan kehancuran, semakin memperdalam atmosfer distopia yang diciptakan Joko.

Sejak premier pada 17 April 2025, film ini berhasil menarik lebih dari 600 ribu penonton hanya dalam minggu pertama, lho! Ini adalah pencapaian luar biasa untuk film Indonesia dengan tema berat seperti ini. Angka ini membuktikan bahwa penonton tanah air mulai membuka diri terhadap film-film yang menawarkan bukan hanya hiburan, tetapi juga refleksi sosial mendalam. 

Secara keseluruhan, Pengepungan di Bukit Duri adalah sebuah film yang kompleks, berani, dan emosional. Ia bukan hanya berhasil menghibur, tetapi juga memprovokasi pikiran penonton tentang arah masa depan bangsa, terutama dalam bidang pendidikan dan kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin keras dan tak terprediksi, film ini menjadi pengingat bahwa keberanian, empati, dan perjuangan untuk kebaikan tidak boleh padam bahkan di tengah kekacauan.







Post a Comment

Previous Post Next Post